Saya sedang online, silahkan masuk

11.19.2008

Prasasti Koleangkak / Prasasti Pasir Jambu Kota Bogor

Prasasti Koleangkak terletak ± 24 km sebelah barat dari Kota Bogor, atau ± 10 km dari Kota Leuwiliang atau ± 14 km sebelah selatan Kota Kecamatan Nangung. Prasasti ini termasuk di dalam Kampung Pasir Gintung RT 02/RW 04, Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung. Secara geogrfis terletak pada koordinat 106°32'46"BT dan 06°34'06" LS dengan ketinggian ± 485 m di atas permukaan air laut.


Lokasi dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat atau kendaraan roda dua. Dari Kota Bogor menggunakan kendaraan umum Bogor – Leuwiliang, kemudian dilanjutkan anggkutan umum Leuwiliang-Nanggung, berhenti di Parakanmuncang (depan rumah kepala Desa Parakanmuncang). Dari sini berjalan kaki menyusuri jalan setapak sejauh ± 700 m melewati perkampungan, ladang, sawah menuju Bukit Koleangkak. Dahulu daerah itu termasuk tanah perkebunan Jambu sehingga prasasti itu dikenal dengan nama Prasasti Jambu. Sekarang ada yang menyebutnya Prasasti Pasir Koleangkak atau Prasasti Pasir Gintung menurut nama kampung di dekatnya.
Penemuan prasasti ini pertama kali dilaporkan oleh J. Rigg pada tahun 1854. Kemudian Prasasti ini telah dialih aksara dan diterjemahkan oleh J.Ph. Vogel (1925) The Earliest Sanskrit Inscription of Java, dan oleh R.M. Ng. Poerbacaraka (1952) dal ;am bukunya Riwayat Indonesia I.
Prasasti dipahatkan pada batu andesit, dengan bentuk segi tiga tidak sama sisi, berukuran tinggi 73 cm, sisi-sisinya berukuran 290 cm, 264 cm, 240 cm. Pada permukaan batu yang relatif sudah rata sebelumnya dan tidak melalui proses penghalusan terlebih dahulu, tertera inskripsi dua baris dengan huruf Palawa dan Bahasa Sangsakerta, di atas tulisan terdapat bentuk sepasang telapak kaki. Isi Inskripsinya :
Isi :
· criman data krtajnyo narapatir asamo yah purl tarumayannamma cri purnnavarmma pracuraripucarabedyavikhyata-varmmo
· tasyedam padavimbad'iyamarinagarotsadanenityadakshambhaktanam yandripanam bhavati sukhakaram calyabhutamripunam
Artinya :
"Gagah, mengagumkan, dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan baju zirahnya yang terkenal (warman). Tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya."
Prasasti tidak menyebutkan pertanggalan tetapi dari paleografinya dapat diperkirakan ditulis pada abad ke-5 M.
Pada tahun 1990 Prasasti Pasir Koleangkak telah diberi cungkup
setelah dipindah di tempat baru
Prasasti yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, berdiri pada area seluas ± 1500 m² dan dipagar kawat berduri setinggi 120 cm. Ditempatkan pada bangunan (cungkup) berukuran 6 x 7 m dengan atap ijuk, tiang menggunakan pilar cor menyerupai batang kayu, dan lantainya susunan batu kerakal yang disemen. Salah satu bagian sudut batu prasasti telah patah, tetapi telah disambung oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Areanya telah ditata baik dilengkapi dengan jalan setapak (cor semen). Pembangunan (cungkup) diresmikan pada 31 Maret 1990 oleh Drs. Uka tjandrasasmita (Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala).
Dari Bukit Koleangkak terlihat hamparan persawahan, pengunungan hijau, sungai Cikasungka, dan Kota Leuwiliang tentu menjadi daya tarik, bagi wisatawan. Selain itu prasasti dari masa Kerajaan Tarumanegara dari abad ke-4-5 yang cukup langka, maka sangat potensial apabila dijadikan sebagai objek wisata budaya dan wisata alam.
Secara geografis wilayah kota administrasi Depok terletak di dataran rendah lereng bawah Gunung Salak (2211 m), dialiri oleh Sungai Ciliwung yang berawal dari pegunungan di daerah Kabupaten Bogor dan Cianjur. Sedang sungai-sungai kecil (kali) yang mengalir di wilayah Depok antara lain adalah Kali Grogol, Krukut, Pasanggrahan, Sugutamu, Cijantung, dan Kalibaru. Oleh sebab itu wilayah Depok termasuk area yang subur dengan curah hujannya yang relatif tinggi. Secara astronomis terletak pada posisi 06º 19’ 00’’ - 06º 28’ 00’’LS dan 106º 43’ 00’’ - 106º 55’ 30 " BT, luas wilayah ± 207.006 km².
Depok memiliki batas-batas; sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang (wilayah DKI Jakarta); sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota bekasi dan Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor; sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor; sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.
Mengenai toponimi depok hingga sekarang masih menjadi diskusi para ahli, banyak pendapat yang dilontarkan untuk membahas asal-usul istilah tersebut. Pendapat yang menarik menyatakan bahwa kata depok berasal dari singkatan bahasa Belanda yang berbunyi ”De Eerste Protestants Onderdaan Kerk” (Gereja Kristen Rakyat Pertama), selain itu terdapat pula penuturan dalam Bahasa Belanda yang apabila disingkat dapat berbunyi depok. Agaknya istilah depok yang berasal dari Bahasa Belanda tersebut perlu dipertanyakan lagi, sebab ketika Cornelis Chastelein membeli tanah dari Lucas Meur dalam tahun 1696, wilayah tersebut telah bernama Depok. Nama Depok dikenali kembali dalam tahun 1704 dan 1709, dalam laporan Abraham van Riebeeck pejabat VOC dari Batavia yang melakukan eksplorasi ke pedalaman Sungai Ciliwung. Dengan demikian penamaan depok untuk wilayah tersebut tidak ada kaitannya dengan penguasaan orang-orang Belanda terhadap wilayah Depok, juga tidak ada kaitannya dengan upaya pengembangan gereja Protestan pertama di wilayah Depok.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak dikenal kata depok, melainkan kata padepokan yang artinya tempat persemedian (pengasingan diri) raja-raja di Jawa pada masa yang lalu. Adapun dalam buku Baoesastra Jawa karya W.J.S.Poerwadarminta (1939) depok dalam bentukan kata benda pa—an berarti rumah atau tempat berdiamnya para ajar (pendeta) atau orang yang menarik diri dari dunia ramai. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa kata depok adalah kependekan dari kata padepokan yang artinya adalah tempat untuk orang-orang yang menjalankan kehidupan bertapa menjauhkan diri masyarakat ramai. Tafsiran itu ternyata mendapat dukungan dari berbagai situs kuno dari masa lalu yang agaknya dahulu dipergunakan oleh para pertapa (ajar atau resi) untuk hidup menyepi mendekatkan diri kepada kekuatan Adi Kodrati.
Berdasarkan berbagai bukti artefaktual yang masih dapat bertahan, kiranya diketahui bahwa kawasan Depok mempunyai sejarah panjang, terentang dari masa prasejarah, khususnya periode bercocok tanam, hingga masa kini. Dalam bentangan sejarah panjang tersebut setelah zaman prasejarah, kemudian disusul era sejarah kerajaan Sunda Kuna, pengaruh awal perkembangan Islam, era kolonial Belanda, penjajahan Jepang yang singkat, hingga masa kemerdekaan sekarang. Beberapa objek sejarah (situs) tersebut ada yang tetap diapresiasi hingga sekarang, dijaga oleh juru kunci, dikeramatkan dan tidak sembarang waktu dapat dikunjungi.
Sejarah Depok, menjadi bagian kekuasaan Kerajaan Pajajaran (abad ke 10-15M ), yang menguasai wilayah sepanjang Sungai Ciliwung, salah satunya Kerajaan Muara Beres (sekarang Muara Beres berada di utara Kota Depok ± 13 km). Sedang pengaruh Islam diperkirakan pada abad 16 (1527 M) bersamaan dengan perlawanan Kerajaan Banten dan Cirebon setelah Jayakarta (Sunda Kelapa) direbut oleh VOC yang berkedudukan di Batavia. Depok menjadi wilayah kekuasaan VOC sejak 17 April 1684, yaitu sejak ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dari Banten dengan VOC, di dalam perjanjian disebut Cisadane sampai Hulu menjadi batas wilayah Kesultanan Banten dengan wilayah kekuasaan VOC.
Cornelis Chastelein, seorang tuan tanah (mantan pejabat VOC) pada tahun 1696 telah membeli tanah yang luasnya mencakup Depok, ditambah sedkit wilayah Jakarta Selatan dan wilayah Ratujaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor sekarang, yang luasnya 1.244 hektar. Menjelang ajalnya ia menulis surat wasiat berisi antara lain mewariskan harta kepada seluruh pekerjanya yang telah mengabdi kepadanya Para pekerjanya telah melebur dalam 12 marga yaitu Jonathans, Leander, Bacas, Loen, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholens, Isakh, Soediro dan Zadhok, sebagai marga yang telah punah. Sementara keturunan pekerja Chornelis Chatelein biasa disebut dengan Belanda Depok. Cornelis Chastelein inilah yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya Depok. Sejak saat itu Depok terus tumbuh dan berkembang menjadi kawasan hunian yang ramai. Pada 1871 pemerintah Hindia Belanda menjadikan Depok wilayah otonom diperintah seorang residen.




Tidak ada komentar: