Saya sedang online, silahkan masuk

11.19.2008

Kawasan Bangunan Kolonial

Kawasan bangunan Kolonial merupakan tempat bersejarah di Kota Depok. Bangunan-bangunan masa Kolonial, misalnya Gereja Immanuel di Jalan Pemuda, Depok lama; Jembatan Panus yang melintas Sungai Ciliwung menghubungi Depok Lama dan Depok II; Pondok Cina di Jalan Margonda yang sekarang menjadi “ornamen’ Margo City, dan bekas rumah Tuan Tanah Cimanggis (km 34 jalan ke arah Bogor). Kawasan bangunan kolonial Depok mudah dicapai dari tengah kota ±15 – 30 menit dengan kendaraan umum dengan akses jalan yang cukup memadai dan kualitas yang cukup baik, lingkungan terjaga bersih dan asri.


Pada masa kolonial ketika Depok mulai dihuni orang-orang Belanda, peninggalan yang bertahan hingga sekarang lebih banyak jenisnya, ada yang merupakan rumah hunian, gereja, sekolah, perkantoran, jembatan, dan lain-lain, jenis itulah yang penting dikaji lebih lanjut apabila diasosiasikan dengan upaya pengembangan pariwisata budaya. Beberapa rumah tinggal bergaya arsitektur Indis yang terletak di daerah Depok Lama. Menurut Steadmen (1979) bangunan bergaya arsitektur Indis (Indisch Stijl) mempunyai ciri: (1) bangunan sudah beradaptasi dengan iklim tropis sehingga mengikuti ciri arsitektur tradisional Jawa, (2) denah bangunan luas melebar tidak memanjang, (3) dilengkapi teras (beranda) di bagian depan rumah, dan (4) atap bangunan lebar sehingga sebagian menaungi bagian halaman tepian rumah.
Rumah dibangun masa Hindia-BelandaDepok masa Kolonial, sejak tahun 1683 keadaan di Jawa Barat khususnya wilayah Banten dan Batavia sudah tenang. Tahun itu adalah tahun kejayaan VOC karena dengan jatuhnya Banten di bawah pengaruh VOC berakhir sudah masa perlawanan kerajaan-kerajaan besar di Asia Tenggara. Untuk menjamin ketenangan tersebut didirikan benteng Speelwijk di Banten (1685) untuk membungkam Banten dari percaturan dunia internasional. Sejak saat itu VOC mulai bertindak sebagai pengatur pemerintahan di Nusantara dan sejak saat itu pula orang Belanda mulai berani berusaha jauh di luar tembok Batavia. Di beberapa tempat sudah mulai dibangun villa-villa (landhuis) antara lain Pondok Gede, Cimanggis, Tanjung Oost dan Depok. Banyak Cina Banten menjadi pemiliki tanah partikelir yang luas. Antara lain Tio Thiong Kho yang menjual sebagian tanahnya kepada Cornelis Chastelein.
Di jalan Pemuda cukup banyak bangunan kolonial dengan arsitektur Eropa, baik berupa rumah tinggal dan sarana pendidikan berupa sekolah, tertata dengan rapih dan asri, karena itu sangat menjajikan bila kawasan ini dikembangkan sebagai kawasan kuliner dan fashion (pertokoan baju). Wisata kuliner dengan nuansa Eropa dan Betawi yang buka pada jam-jam tertentu, sekitar pukul 16.00 – 22.00 WIB. Sedangkan bagi yang rumahnya dikembangkan sebagai kuliner yang menjajakan makanan (jajanan) tradisional dapat buka mulai pukul 10.00 -22.00 WIB.
Sedangkan fashion, terutama pada rumah-rumah yang memiliki ornamen dan komponen yang relatif masih dipertahankan dengan kuat serta memiliki ruang cukup memadai dengan tanpa merubah yang berarti seperti tetap mempertahankan penggunaan cat bangunan, atap, tampak muka bangunan dan ornamen dan komponen bangunan. Walaupun demikian apabila ada perubahan harus tetap berkonsultasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat atau ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. Hal ini seperti yang dikembangkan di kota Bandung, di Jalan Martadinata (jalan Riau) dan jalan Dago.
Rumah dibangun masa Kolonial Hindia-Belanda
Untuk menunjang pegembangan dan pemanfaatan kawasan jalan Pemuda dengan cukup banyak bangunan kolonial nan indah, perlu dilengkapi dengan area parkir yang memadai, dapat ditempatkan di suatu sudut atau bagian kawasan tersebut dengan tanpa mengindahkan kelancaran berlalu lintas.
Kota Sukabumi secara geografis terletak pada bagian selatan Jawa Barat dengan wilayah dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Sukabumi. Sukabumi berasal dari kosa kata bahasa Sunda suka (senang) dan bumen (bertempat tinggal). Nama tersebut dikaitkan dengan keterangan mengingat udaranya yang sejuk dan nyaman menyebabkan siapa yang datang akan suka dan betah bertempat tinggal di daerah tersebut. Daerah Sukabumi semula bernama Gunung Parang dengan ibu kota Cikole. Daerah Sukabumi dari tahun 1815 sampai dengan pertengahan 1921 merupakan salah satu Afdeling Kabupaten Cianjur dengan status Kabupaten Sukabumi disamping Gemeente Sukabumi yang dibentuk pada tanggal 1 April 1914
Sejarah Kota Sukabumi diawali dengan dibuka dan makin berkembangnya perkebunan-perkebunan di daerah Sukabumi yang mengakibatkan banyak orang-orang Eropa tinggal di daerah tersebut. Pada tahun 1914 Sukabumi dijadikan Burgelijk Bestuur yang dipimpin oleh Burgemeester. Dengan demikian sejak tahun 1914, Sukabumi berstatus Gemeente Soekaboemi.
Sejak tahun 1926 Gemeente Soekaboemi dijadikan daerah otonom hingga tahun 1942. Setelah Indonesia dikuasai Jepang pada tahun 1942 – 1945, Gemeente Sukabumi diganti menjadi Sukabumi Shi dengan kepala pemerintahan disebut Shityo. Setelah Indonesia merdeka, status Kota Sukabumi menjadi Kota Kecil Sukabumi yang dikepalai oleh walikota hingga tahun 1957. Selanjutnya sejak tahun 1957 sampai dengan 1965 menjadi Kotapraja Sukabumi. Statusnya berubah menjadi Kotamadya Sukabumi sejak tahun 1965 sampai dengan 1999 dengan sebutan untuk kepala daerahnya adalah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Sukabumi. Sejak tahun 1999 hingga sekarang sebutan kotamadya berubah menjadi kota sehingga namanya menjadi Kota Sukabumi.
Menilik sejarahnya berdirinya Kota Sukabumi tidak lepas daripada kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda. Dibukanya daerah tersebut untuk perkebunan yang sebagian besar milik orang Eropa diikuti dengan menetapnya para pengusaha perkebunan. Dengan menetapnya bangsa Eropa dengan sendirinya memerlukan beberapa fasilitas bagi mereka. Gereja sebagai tempat ibadah agama orang Eropa dan bangunan lainnya, mereka bangun. Dalam perkembangannya, Kota Sukabumi menjadi kota berpenduduk heterogen. Salah satu indikasi adalah adanya pemukiman dan tempat peribadatan orang Tionghoa di kota ini. Bangunan-bangunan kuno yang penting antara lain adalah :


Tidak ada komentar: