Saya sedang online, silahkan masuk

11.25.2008

Kota Bandung

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat bahwa Kata Bandung itu diambil dari bahasa Sunda “bendungan” yang artinya dam. Lama kelamaan bendungan itu menjadi kering dan kemudian berdirilah kota Bandung. Secara alamiah Kota Bandung terletak di tengah-tengah cekungan bekas Danau Bandung Purba yang dikelilingi perbukitan, yaitu di bagian selatan terdapat Gunung Cula, Gunung Malabar dan Gunung Tilu; di bagian timur terdapat Bukit Jaitan dan Gunung Manglayang; di bagian utara terdapat Gunung Sunda, Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Burangrang; sedangkan di bagian barat terdapat Pegunungan Rajamandala. Luas wilayah 8.098 hektar. Temperatur 23º-24º C, dengan kelembabahan udara 70 % dan curah hujan ± 1.814 mm/tahun.

Kota Bandung secara geografis terletak pada 107º 36' BT dan 06º 55' LS, dengan tinggi 768 m dari atas permukaan laut. Jarak tempuh dari Jakarta ke Bandung ± 180 kilometer dapat dicapai dengan menaiki pesawat terbang selama 25 menit atau dengan kereta api selama 3 jam. Apabila melewati Jalan Tol Cipularang ditempuh dalam waktu 2 jam.
Sejarah kota Bandung merupakan bagian yang tidak terpisah dari sejarah Tatar Sunda, yang pernah berada dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran), selanjutnya dibawah pengaruh Kerajaan Mataram, dibawah VOC (Vereenigde Oast Insdische Compagnie), di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di Batavia, dan di bawah kekuasaan Jepang.
Herman Willem van Daendels (1808-1811), melalui surat tanggal 25 Mei 1810 meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten, masing-masing ke daerah Cikapundung dan Andawadak (Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos (Groote Postweg). Jalan Raya Pos mulai dibangun pertengahan tahun 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang telah ada. Di daerah Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman - Jalan Asia Afrika - Jalan A. Yani, berlanjut ke Sumedang dan seterusnya. Pada masa sekarang tanggal 25 September 1810 dijadikan sebagai titimangsa dalam menetapkan hari jadi Kota Bandung.
Rupanya H.W. Daendels tidak mengetahui, bahwa jauh sebelum surat itu keluar, bupati R.A Wiranatakusumah II sudah merencanakan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Bandung, pada tahun 1808, bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekali lahan bakal ibukota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang). Akhirnya telah menemukan tempat yang cukup baik dan strategis bagi pusat pemerintahan. Tempat yang dipilih adalah lahan kosong berupa hutan, terletak di tepi barat Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos yang sedang dibangun (pusat kota Bandung sekarang). Alasan pemindahan ibukota itu antara lain, Krapyak tidak strategis sebagai ibukota pemerintahan, karena terletak di sisi selatan daerah Bandung dan sering dilanda banjir bila musim hujan. Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II (1794-1829), yang dijuluki dengan pendiri (the founding father). II Kota Bandung.
Pada tanggal 17 Agustus 1864, Kota Bandung menjadi ibukota Kerisidenan Priangan, dan selanjutnya Jawa Barat resmi menjadi Propinsi yang pertama kali dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1926, masyarakat Sunda waktu itu menyebutnya Propinsi Pasundan. Pada waktu itu Propinsi Jawa Barat beribukota Batavia. Wilayahnya terdiri atas 5 kerisidenan, yang meliputi 18 Kabupaten, dan 6 Kotapraja. Kota Bandung sebagai salah satu Kotapraja di bawah Karisidenan Priangan.



Baca Selengkapnya ......

Gedung Sate

Gedung Sate terletak di Jalan Diponegoro No. 22, Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Coblong. Lingkungan Gedung Sate merupakan suatu kawasan bersejarah, karena bangunan kuno dari masa Kolonial Hindia Belanda relatif banyak, seperti Museum Geologi, Museum Pos Indonesia, Gedung Dwiwarna, Rumah Tinggal dan sebagainya. Secara Geografis Gedung Sate berada pada koordinat 107º37'07,9" BT dan 06º54'05,4" LS, dan sekitar gedung kini telah banyak berdiri bangunan perkantoran, pemukiman, dan pertokoan. Untuk mencapainya relatif mudah melalui jalan raya dengan kondisi yang baik, menggunakan kendaraan pribadi roda 4 atau 2 ataupun menaiki kendaraan umum (Bis/Angkot) yang melewati kawasan ini relatif banyak.

Gedung Sate didirikan pada tahun 1920 yang merupakan hasil perencanaan dari sebuah tim yang dipimpin oleh J. Gerber, Eh. De Roo, dan G. Hendriks serta Gemeente van Bandoeng yang diketuai V.L. Slors. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops (puteri sulung B. Coops, Walikota Bandung) dan Nona Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jendral Batavia. Langgam arsitekturnya menyerupai bangunan Italia di zaman Renaissance, yang anggun, megah dan monumental. Penataan bangunan simetris, elemen lengkungan yang berulang-ulang (repetisi) menciptakan ritme yang menyenangkan, indah dan unik. Gedung Sate memiliki areal kawasan seluas ± 27.990,859 m² dan luas gedung ± 10.877,734 m². Gedung Sate ini berbatasan dengan utara: Jalan Diponegoro/Lapangan Gasibu, timur: Jalan Cilaki/Gedung Museum Pos Indonesia, selatan: Jalan Cimanggis, barat: Jalan Cimalaya.
Bangunan Gedung Sate dipengaruhi ornamen Hindu dan Islam. Pada dinding fasade depan terdapat ornamen berciri tradisional, seperti bangunan candi Hindu, sedangkan ditengah-tengah bangunan induk Gedung Sate, terdapat menara dengan atap susun (tumpang) seperti Meru di Bali atau atap Pagoda. Bentuk bangunan ini menjadi unik bentuknya sebagai perpaduan gaya arsitektur timur dan barat. Gaya seni bangunan yang memadukan langgam arsitektur tradisional Indonesia dengan kemahiran teknik konstruksi barat disebut Indo-Eropeesche architectuur Stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). Pada puncak Gedung Sate terdapat enam tusuk sate yang menyimbulkan enam juta Gulden yang dihabiskan sebagai biaya pembangunannya.
Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan negara RI dari Belanda (Ghurka) yang ingin kembali menjajah, gedung Sate ini oleh para pemuda dipertahankan sampai titik darah penghabisan dan pada akhirnya mereka gugur pada tanggal 3 Desember 1945 dan sebagai penghargaan atas jasa mereka dibangun sebuah monumen peringatan yang berdiri di depan Gedung Sate.
Gedung Sate pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berfungsi sebagai kantor pemerintahan Hindia Belanda dan kini, dipergunakan sebagai Kantor Pusat Pemerintahan Jawa Barat. Gedung ini dapat dikatakan sebagai Landmark Kota Bandung karena mempunyai bentuk bangunan yang khas dan kehadiran penampilannya sangat kuat. Sosok bangunan Gedung Sate dengan menaranya yang beratap susun kini menjadi simbol atau ciri visual Propinsi Jawa Barat.
Gedung Sate dapat saja dijadikan sebagai objek pariwisata sejarah, karena di kawasan ini terdapat bangunan bersejarah lainnya seperti Museum Geologi dan Gedung Dwiwarna. Selain itu dapat digunakan sebagai bahan kajian arsitektur Eropa bagi mahasiwa/pelajar. Gedung Sate apabila dijadikan objek wisata sejarah diupayakan pada hari-hari libur atau hari besar nasional agar tidak mengganggu aktifitas kantor serta perizinan dan keamanan harus lebih dioptimalkan.



Baca Selengkapnya ......

Museum Geologi

Museum Geologi terletak tidak jauh dari Gedung Sate dan masih berada dalam satu kawasan bangunan-bangunan bersejarah. Gedung berada di sisi Jalan Diponegoro No. 57, yang termasuk ke dalam Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Coblong. Secara Geografis berada pada koordinat 06º54'03,3" LS dan 107º37'16,9" BT. dan sekitar gedung kini telah banyak berdiri bangunan perkantoran, pemukiman, dan pertokoan. Untuk mencapainya relatif mudah melalui jalan raya dengan kondisi yang baik, menggunakan kendaraan pribadi roda 4 atau 2 ataupun menaiki kendaraan umum (Bis/Angkot) yang melewati kawasan ini relatif banyak.

Museum ini dibangun pada tahun 1928 masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, oleh arsitek WNALDA VAN SCHOLTWENBURG, dan diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929 yang bertepatan dengan Kongres Ilmu Pengetahuan se-Pasifik IV di Bandung. Selain sebagai museum, difungsikan pula sebagai labolatorium geologi, dan sampai sekarang pemanfaatannya tetap sama sesuai fungsinya dan dikelola oleh Museum Geologi/Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dengan luas gedung ± 3617,08 m² dan luas kawasan ± 8342,52 m². Gedung Museum berbatasan dengan, di sebelah utara: Jalan Surapati, timur: Gedung RRI, selatan: Jalan Diponegoro, barat: Jalan Sentot Alibasa.
Gedung Geologi memiliki gaya arsitektur art deco dengan kesan horisontal yang sangat kuat. Terdiri dari dua lantai dengan arah hadap ke selatan (Jalan Surapati). Museum ini pada awalnya sangat sederhana sehingga dapat dikatakan menyerupai ruang dokumentasi koleksi. Kemudian tahun 1993 telah dilakukan renovasi karena semakin banyaknya koleksi yang dikumpulkan dari hasil penelitian geologi Indonesia yang dimulai sejak tahun 1850, sehingga diperlukan tempat khusus untuk menyimpan dan memamerkan kepada masyarakat luas. Serta meningkatnya jumlah pengunjung yang memerlukan informasi ilmu geologi, khususnya pelajar dan mahasiswa. Renovasi museum geologi atas usaha bersama pemerintah Indonesia dan pemerintah Jepang pada tahun 1998 s.d. Juli tahun 2000 dan diresmikan pada tanggal 22 Agustus 2000 oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri bersamaan dengan Simposium Internasional tentang Museum Geologi.
Museum Geologi memiliki kawasan seluas ± 8342,52 m², dengan luas gedung ± 3617,08 m². Gedung Museum ini berbatasan dengan Utara: Jalan Surapati, Timur: Gedung Dwiwarna, Selatan: Jalan Diponegoro, Barat: Jalan Sentot Alibasya. Koleksi Museum Geologi terdiri batuan dan mineral ± 250.000 buah, koleksi fosil dan lain-lain ± 60.000 buah. Museum Geologi merupakan museum terbesar koleksinya se-Asia Tenggara.
Museum Geologi kini telah menjadi objek pariwisata budaya (geologi) yang relatif ramai dikunjungi oleh kalangan pelajar, mahasiswa dan masyarakat, pada hari biasa maupun hari libur baik dari Bandung maupun luar Bandung.


Baca Selengkapnya ......

Gedung Dwiwarna

Gedung Dwiwarna letaknya bersebelahan dengan Gedung Geologi, berada kawasan bangunan bersejarah, di Jalan Diponegoro No. 59, Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Coblong. Secara Geografis berada pada koordinat 06º54'03" LS dan 107º37'22" BT. dan sekitar gedung kini telah banyak berdiri bangunan perkantoran, pemukiman, dan pertokoan. Untuk mencapainya relatif mudah melalui jalan raya dengan kondisi yang baik, menggunakan kendaraan pribadi roda 4 atau 2 ataupun menaiki kendaraan umum (bis/angkot) yang melewati kawasan ini relatif banyak.

Gedung Dwiwarna didirikan pada tahun 1940 di bawah pengawasan Technisishon Dionstdor Stadssgemeente Bandung, dan digunakan sebagai tempat “Indische Pension Fondsen (Dana Pensiun) seluruh Indonesia. Pada waktu pemerintahan Jepang berkuasa, bangunan ini digunakan sebagai Gedung Kempeitai, kemudian sebagai Gedung Rekomba, dan gedung DPR Negara Pasundan. Di Gedung ini pula dilakukan demonstrasi pembubaran Negara Pasundan untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian Gedung DPR Tingkat I Jawa Barat, dan tahun 1955 oleh Bung Karno dipergunakan sebagai Gedung Sekertariat Konferensi Asia Afrika ke-1 dan gedung ini dinamakan Gedung Dwi Warna. Setelah Konferensi Asia Afrika selesai, kembali ke fungsi semula yaitu sebagai Gedung KP3 (Kantor Pusat Pensiun Pegawai). Sekarang Kantor Pusat Administrasi Belanja Pegawai (Sub Direktorat Pengumpulan data Seluruh Indonesia) di bawah Departemen Keuangan RI.
Bangunan ini memiliki gaya arsitektur modern pada zamannya, atap bangunan berbentuk limasan dan pada bagian tengah terdapat atap tambahan. Pada bagian kerucut di tengah atap terdapat penangkal petir. Secara keseluruhan mempunyai pola simetris, peletakkannya dibuat lebih mundur daripada bangunan sekitarnya. Arah hadap bangunan ke selatan, dibatasi sebelah timur dengan Gedung RRI, sebelah barat Gedung Musem Geologi dan sebelah utara dengan Jalan Surapati.
Gedung ini dapat dijadikan sebagai objek pariwisata, karena letaknya masih dalam satu kawasan dengan bangunan-bangunan kuno seperti Museum Geologi dan Gedung Dwiwarna dan lain-lain, sehingga perlu diatur keamanan dan hari-hari kunjungan agar tidak mengganggu aktifitas kantor.


Baca Selengkapnya ......

Museum Pos Indonesia

Museum Pos Indonesia terletak di kawasan Gedung Sate, namun Gedung ini secara adminstratif terletak di Jalan Cilaki No. 73, Kelurahan Cihapit, Kecamatan Bandung Wetan. Secara Geografis Museum Pos Indonesia berada pada koordinat 107º37'07,9" BT dan 06º54'05,4" LS, dan sekitar gedung kini telah banyak berdiri bangunan perkantoran, pemukiman, dan pertokoan. Untuk mencapainya relatif mudah melalui jalan raya dengan kondisi yang baik, menggunakan kendaraan pribadi roda 4 atau 2 ataupun menaiki kendaraan umum (bis/angkot) yang melewati kawasan ini relatif banyak.

Museum ini dibangun masa Hindia-Belanda pada 27 Juli 1920 dengan nama Museum Pos, Telegraph dan Telepon (PTT) dan dibuka tahun 1931. Pada 19 Juni 1995 Museum berganti nama menjadi Museum Pos dan Giro disesuaikan dengan perusahaan yang menanganinya. Pada waktu Perusahaan berganti nama menjadi PT Pos Indonesia maka terjadi pula perubahan nama museum ini menjadi Museum Pos Indonesia. Museum memiliki luas gedung 700 m², dan berdiri tegak di atas lahan tanah seluas ± 706 m². Gedung Museum dibangun oleh Ir. J. Berger dari Landsgebouwdienst dengan gaya arsitektur Italia masa Renaissance.
Pada masa revolusi dan perang kemerdekaan, keberadaan museum ini tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya, bahkan nyaris terlupakan. Kemudian baru tanggal 18 Desember 1980 Direksi Perum Pos dan Giro membentuk Panitia Persiapan Pendirian Museum Pos dan Giro untuk menghidupkan kembali museum. Menginggat banyaknya koleksi perangko, foto, peralatan pos yang bernilai sejarah yang perlu diketahui oleh masyarakat luas dan museum sebagai sarana pendidikan, informasi dan rekreasi untuk generasi muda dimasa sekarang dan mendatang. Tugas utama panitia tersebut adalah melakukan inventarisasi dan pengumpulan benda-benda bersejarah yang patut dijadikan sebagai koleksi museum. Pada 27 September 1983 bersamaan dengan hari bakti Postel ke-38 Museum ini secara resmi dibuka oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Acmad Tahir dan diberi nama Museum Pos dan Giro, sebagai museum untuk umum.
Museum Pos dan Giro di Jawa Barat ini, merupakan satu-satunya museum perangko yang koleksinya tidak lagi hanya sebatas pada perangko-perangko dari berbagai negara, tetapi telah dilengkapi dengan benda-benda pos bersejarah. Museum Pos dan Giro dapat dikembangkan sebagai objek wisata budaya, khusunya para filatelis (orang yang hobi mengumpulkan perangko) maupun masyarakat yang ingin meningkatkan wawasan sejarah perkembangan perangko.


Baca Selengkapnya ......