Saya sedang online, silahkan masuk

11.25.2008

Kota Cimahi

Cimahi diambil dari nama sebuah sungai yang mengalir di kawasan ini. Sedang Cimahi sendiri secara etimologi menurut Kamus Bahasa Sunda yang disusun oleh Jonathan Rigg, berasal dari kata ”cai” (dipendekkan menjadi ci) artinya air dan ”mahi” artinya cukup, maka Cimahi berati air yang cukup. Kemungkinan Cimahi merupakan sungai yang airnya mencukupi untuk sumber kehidupan masyarakat setempat. Menurut cerita dahulu Cimahi dikenal pula dengan nama ”Cilokotot”, (enceng gondok) yang banyak tumbuh atau ada yang menyebutkan diambil dari nama tanaman perdu ”lokotot”, bahkan ada yang menyatakan dari kata ”dipololotan”. Selanjutnya karena nama Cilokotot kurang bagus kedengarannya, maka dipakailah nama Cimahi.

Nama Cimahi baru tertulis dalam sumber tradisional yang lebih kemudian, misalnya dalam Babad Batulayang, disebutkan bahwa pada abad ke-16, Tanah Ukur (Daerah Ukur) terdiri atas sembilan umbul. Cimahi dan Cikalong tercakup dalam umbul Kahuripan, yang ibu kotanya terletak di Pangheotan (Cikalong sekarang). Jadi meskipun sumber ini bukan sumber historis yang bersifat primer, setidaknya nama Cimahi di duga sudah ada sejak abad ke-16 M.
Dalam sumber kolonial nama ”Cimahi” telah disebut dalam catatan perjalanan Abraham van Riebeeck (Gubernur Jenderal Kompeni), yang melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Priangan antara tahun 1703-1709 yang dilakukannya beberapa kali. Dalam perjalanan Abraham van Riebeeck dari Batavia menuju selatan pada 19 September 1709, dicatatnya bahwa ia melewati suatu tempat dimana mengalir sungai yang berarus deras yaitu ”Tsji Makij”, yang diidentifikasikan oleh Frederick de Haan sebagai ”Cimahi”. Kemungkinan inilah sumber kolonial tertua yang menyebut nama Cimahi.
Nama Cimahi sebagai wilayah administratif lebih jelas disebut dalam sumber-sumber kolonial kemudian, dinyatakan bahwa pada awalnya daerah Cimahi masih berupa hutan belantara dengan pepohonan yang tinggi dan semak belukar, dengan perkampungan-perkampungan kecil di sekitar pinggiran sungai Cimahi. Daerah ini kemudian mulai dikenal seiring dengan rencana pembuatan Jalan Raya Pos (Groote Postweg) oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811). Jalan yang direncanakan membentang dari ujung barat sampai ujung timur Pulau Jawa sepanjang 1.000 km itu melewati pula daerah Cimahi. Pada masa Daendels Cimahi bagian dari kewedanaan Cilokotot. Pada masa pemerintahan Bupati Raden Adipati Aria Wiranatakusumah III, Cimahi merupakan ibukota salah satu kewedanaan (Kewedanaan Cilokotot) dari Kabupaten Bandung.
Ketika dikeluarkannya Berita Negara 1913 Nomor 356 pada tanggal 20 Mei 1913 , yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1913, Distrik Cilokotot telah berganti nama menjadi Distrik Cimahi yang dipimpin oleh seorang wedana. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Berita Negara 1925 No.404 dinyatakan bahwa wilayah Jawa Barat dibagi atas 9 keresidenan yaitu Banten, Batavia, Buitenzorg, Karawang, Priangan Barat, Priangan Tengah, Priangan Timur, Indramayu dan Cirebon. Kabupaten Bandung (termasuk di dalamnya Distrik Cimahi) dan Kabupaten Semedang berada di wilayah Keresidenan Priangan Tengah yang dipimpin oleh seorang residen yang berkedudukan di Bandung. Tahun 1931 beberapa keresidenan di wilayah propinsi Jawa Barat dirampingkan sehingga terdiri atas 5 keresidenan yaitu Banten, Batavia, Buitenzorg, Priangan dan Cirebon. Distrik Cimahi yang berada di kabupaten Bandung menjadi bagian dari Keresidenan Priangan. Adapun distrik Cimahi terdiri tasa 3 onderdistrik yaitu Cimahi, Batujajar dan Padalarang. Pembagian ini berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda pada tahun 1942.
Dengan menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, ternyata kurang menguntungkan dilihat dari sistem pertahanan dalam menghadapi perang dengan teknologi militer yang lebih cangih dibandingkan dengan yang dimiliki Belanda. Hal itu terbukti ketika datang serangan musuh dari pantai, seperti yang dialami Janssens, pengganti Jenderal Daendels. Oleh sebab itu Belanda merencanakan pemindahan pusat pemerintahan dari kota pantai ke pedalaman, yang diilhami oleh laporan yang disusun oleh HF Tillema (orang Belanda) yang pernah menjabat sebagai penilik kesehatan di Semarang.
Pucuk pimpinan Balatentara Belanda di tanah Hindia Belanda telah memilih dataran tinggi Bandung/Cimahi sebagai pusat komando militer. Untuk mempersiapkan Cimahi sebagai pusat pertahanan HiIndia-Belanda pada tahun 1887 didirikan Rumah Sakit Militer. Pada Septembar 1896, Cimahi diresmikan sebagai Garnisun Militer yang merupakan pusat komando pengendalian pasukan dan koordinasi/ mobilisasi/pengerahan pasukan untuk digunakan dalam operasi-operasi tempur dan fungsi-fungsi kegarnisunan lainnya. Sejak saat itu hampir setengah kekuatan militer Hindia Belanda berada di Cimahi.
Pembangunan Cimahi sebagai Garnisum militer terbesar di Hindia Belanda kemudian dilengkapi dengan lapangan udara militer, yaitu Pelabuhan udara Militer Andir (sekarang Lanuma Husein Sastranegara). Lapangan udara ini diresmikan tahun 1914 sebagai Pusat Pangkalan Udara Milter Hindia Belanda. Tujuan Cimahi dijadikan sebagai kota militer adalah untuk mem-back up kota Bandung sebagai pusat pemerintahan Belanda. Pada masa sebelum Perang Dunia ke-2, kota yang djuluki Parijs van Java (Bandung) direncanakan memiliki fungsi ganda sebagai pusat pangkalan udara milter Hindia Belanda dan sebagai ibukota atau pusat pemerintahan sipil Hindia Belanda. Kedua rencana tersebut, tidak semua berjalan lancar sesuai yang diharapkan, kecuali untuk fungsi militer.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia (1942-1945), Jepang tetap menggunakan Cimahi sebagai tempat latihan militer dengan memanfaatkan bekas bangunan atau fasilitas militer Belanda, dengan sedikit penyesuaian dilakukan sesuai kebutuhan Jepang saat itu seperti penyediaan tempat interniran bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang ditahan oleh Jepang. Jepang juga tetap menjadikan Cimahi sebagai salah satu pusat pendidikan militer termasuk pendidikan militer Pembela Tanah Air (PETA).
Memasuki masa revolusi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), Cimahi menjadi salah satu titik perjuangan kemerdekaan Indonseia, Cimahi berperan sebagai markas pertama Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kerisidenan Priangan, sebelum dipindahkan ke Bandung (jalan Pasirkaliki No.43), dengan komandannya Aruji Kartawinata.
Pada tahun 1962 Cimahi termasuk dalam wilayah Kabupaten Bandung dengan status kewedanaan, karena menunjukkan perkembangan yang memiliki karakteristik perkotaan sehingga Cimahi yang semula berstatus kewedanaan, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 atahun 1975 ditingkatkan satusnya menjadi Kota Administratif (Kotif) serta diresmikan pada tanggal 29 Januari 1976 keluar PP No. 29/1976 tentang penetapan Cimahi sebagai Kotif dan Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi melantik H.M. Soedarna sebagai Walikotannya. Cimahi selain menjadi Pusat Pendidikan Milter sejak zaman Hindia-Belanda dan telah tumbuh berbagai jenis perdagangan, jasa serta sektor usaha lainnya.
Perubahan politik yang terjadi di tingkat nasional, pada akhirnya juga berdampak pada perubahan politik di tingkat lokal. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa selambat-lambatnya selama dua tahun setiap kotif yang memenuhi persyararatan dapat meningkatkan statusnya menjadi kota dan sebaliknya yang tidak memenuhi persyaratan akan diturunkan menjadi kecamatan. Akhirnya terbitlah Undang-undang No.9/2001 tentang Pembentukan Kota Cimahi resmilah Cimahi menjadi kota dalam arti kota yang memiliki otonomi penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri terlepas dari dominasi pemerintahan kabupaten Bandung, kemudian pada 20 Juli 2001 diangkat H.M. Ir.Itoc Tochija, MM sebagai pejabat Walikota Cimahi oleh Mendagri.


Tidak ada komentar: