Prasasti Batu Tulis sekarang berada dalam sebuah bangunan di tepi Jalan Raya Batu Tulis, Kelurahan Batu Tulis, Kecamatan Bogor Selatan. Secara geografis terletak pada koordinat 106º 48' 32" BT dan 06º 37 ' 25" LS, dan berada pada ketinggian 510 meter dari permukaan laut
Areal prasasti seluas 255 m², terdapat bangunan dari tembok berukuran 18 m², untuk menempatkan prasasti batu tulis. Bangunan itu dibuat oleh masyarakat (1980) karena keberhasilannya setelah mengunjungi prasasti ini. Di sekitar areal situs terdapat batu tegak, batu datar, batu relief, batu berlubang dan lain-lain. Lingkungan prasasti Batu tulis kini cukup padat oleh perumahan penduduk, yaitu pada batas utara, timur dan selatan, sedang batas barat Jalan raya Batu Tulis dan Istana Batu Tulis.
Prasasti Batu TulisPrasasti Batu Tulis terletak sekitar 3 km sebelah selatan dari pusat Kota Bogor, sekitar 20 km sebelah timur Istana Batu Tulis. Lokasi mudah dicapai menggunakan kendaraan umum Jurusan Bogor-Ciampea dengan waktu tempuh 20 menit atau dengan kendaraan umum (kendaraan beroda empat), Sukajadi-Bubulak, turun di Jalan Merdeka.
Berita tertulis pertama tentang temuan prasasti ini pada Senin tanggal 28 Juli 1687, dinyatakan dalam laporan ekspedisi VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)/Persatuan Dagang Hindia Timur dipimpinnya oleh Scipio. Kemudian prasasti ini diteliti oleh para ahli diantaranya Friedrich (1853), J. Noorduyn (1859), K. E. Holle (18777), C. M. Pleyte (1911), R. Ng. Poerbatjaraka (1921), dan Saleh Danasasmita (1981-1984).
Bertdasarkan kajian teks prasasti Batu Tulis oleh para ahli berhasil disusun kembali oleh oleh Saleh Danasasmita tahun 1981-1984 sebagai berikut:
Oo wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu
Diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diya dingaran sri
Baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu de-
Wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dew anis-kala sa(ng) sidamoka di
Gunatiga, i(n) cu rah rahyang niskala wastu
Ka(n) cana sa(ng) sidamokta ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka-
La gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga
Rena mahawijaya, ya siya pun 00 1 saka, panca pandawa (m) ban bumi 00
Terjemahannya adalah:
Tulisan yang ada pada Prasasti Batu Tulis ”Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan
Dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar “Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang
Membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang Di Gunutiga, cucu Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan,
mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena
Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455”.
Teks Prasasti Batu Tulis digoreskan pada sebuah monolit, dari batu andesit berwarna abu-abu kehitaman berbentuk segi tiga pipih menyerupai gunungan dengan huruf Jawa Kuna dan bahasa Sunda Kuna, inskripsi terdiri dari sembilan baris, berukuran tinggi 1,82 m, lebar atas 27 cm, lebar bawah 1,52 m dan tebal 15 cm. Prasasti ini dibuat dalam masa Raja Surawisesa untuk memperingati jasa raja pendahulunya, Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja yang telah memperbaiki Pakuan Pajajaran dengan membuat parit pertahanan, gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) Samida, dan membuat talaga Rena Mahawijaya, dan berangka tahun berbentuk candrasangkala “panca pandawa ngemban bumi” yang setara dengan tahun 1455 Saka (1533 M),
Prasasti ini merupakan sebuah sakakala atau “tanda peringatan” untuk memperingati 12 tahun meninggalnya Sri Baduga Maharaja yang berkuasa selama 39 tahun (1482-1521). Kebiasaan dalam Agama Hindu mengenal upacara Srada yang dilaksanakan 12 tahun setelah meninggal sebagai penyempurnaan sukma. Prasasti ini dibuat tahun ke-12 (1533) setelah Sri Baduga Maharaja wafat tahun 1521 Masehi. Tahun1455 Saka yang tertera pada prasasti sesuai dengan tahun 1533 M.
Uraian Batu tulis sesuai naskah Pustaka Nagara Kertabumi, terjemahannya adalah sebagai berikut: Adapun putra Dewa Niskala, yaitu Ratu Jayadewata menggantikannya menjadi raja Sunda dengan nama Prabuguru Dewataprana, lalu dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Ia duduk di atas tahta yang bernama Sriman Sriwacana. Keratonnya bernama Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Pleyte membandingkankan dengan kropak 406 Carita Parahiyangan, sehingga ia menyimpulkan bahwa tokoh Prebu Maharaja orangnya identik dengan tokoh Ratu Sunda yang diberitakan oleh naskah Pararaton.
Tentang sebutan Pakuan Pajajaran, Poerbatjaraka (1921) telah menafsirkan sebagai istana yang berjajar. Ikhwal keraton Pajajaran, diberitakan juga oleh Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara sebagai berikut: Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan kadatwan Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati adalah Sang Prabu Tarusbawa. Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebutan Pakuan Pajajaran adalah merupakan gabungan nama ibu kota (Pakuan) yang diikuti oleh nama keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Bila dihubungkan dengan pendapat Poerbatjaraka tentang istana yang berjajar, kemungkinan keraton kadatwan Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati tersebut adalah merupakan nama untuk 5 bangunan keroton yang bentuk dan tata letaknya sama dan berjajar. Nama keraton Pajajaran meluas menjadi nama ibu kota, bahkan akhirnya sering menjadi nama negara. Berita mengenai digunakan Pajajaran sebagai nama kerajaan sudah dimulai pada masa pemerintahan Prabu Susuktunggal, sebagaimana keterangan dari kutipan berikut ini:“pada waktu Sang Haliwangun berusia 13 tahun, ia diangkat menjadi rajamuda Sunda, dengan nama abhiseka prabu Susuktunggal, baginda memerintah di Pakuan Pajajaran.
Berdasarkan sumber-sumber sejarah Cina, nama kerajaan Sunda (Sun-ta) dan Portugal (Regno de Cumda) berdiri sekitar abad ke 14-15 M, dan sebuah prasasti dari abad ke 15 M menyebutkan nama Prabu Wastu yang bertahta di Kawali dengan istananya yang dinamai Surawisesa. Setelah Prabu Wastu meninggal digantikan oleh putranya yaitu Rahyang Ningratkancana atau Dewa Niskala. Ketika Dewa Niskala meninggal, ia digantikan oleh putranya yang bernama Sri Baduga Maharaja yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran. Demikian Beliau berkuasa sebagai raja kerajaan Sunda di Kawali tempat kedudukan ayah dan kakeknya dan berkuasa di Pakuan Pajajaran sebagaimana yang dinyatakan dalam Prasasti Batu Tulis.
Prasasti Batu Tulis dapat dijadikan sebagai objek wisata sejarah, karena merupakan salah satu prasasti peninggalan masa Kerajaan Pajajaran, yang dahulu pernah berkembang dan cemerlang pada masanya. Prasasti ini dapat menumbuhkan rasa kebanggaan dan nasionalisme bangsa. Objek ini letaknya relatif strategis karena berada di tengah Kota Bogor.
11.19.2008
Prasasti Batu Tulis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar