Saya sedang online, silahkan masuk

11.19.2008

Kota Bogor Kota Hujan

Kota Bogor dikenal sebagai “Kota Hujan” karena hampir setiap hari turun hujan dengan curah hujan rata-rata 3.500-4.000 mm pertahun, dengan luas ± 21,56 km², dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor. Jarak dari Kota Jakarta ± 60 km atau ± 60,2 mil dari Kota Bandung. Secara geografis berada pada 106º 48’ BT dan 06º 36’ LS, dengan morfologi berupa dataran tinggi, yang dikelilingi oleh Gunung Salak, Gunung Pangrango, Gunung Gede, dengan suhu rata-rata 26º C.
Kota Bogor dapat ditempuh dari Jakarta melalui jalan bebas hambatan Tol Jagorawi dalam waktu ± 30 menit, atau dengan Kereta Api Listrik Jabodetabek. Sedangkan dari Bandung dapat dicapai dengan kendaraan melalui Ciawi atau Jonggol dan terus dilanjutkan dengan Tol Jagorawi dengan waktu tempuh ± 3 jam.


Wilayah Bogor, Jawa Barat pada abad awal ke-5 M telah berkembang Pusat Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman dan termasuk kerajaan yang awal di Nusantara. Hal ini berdasarkan sumber tertulis dari negeri Cina, Fa-hsien, seorang pendeta Cina pada tahun 414 M., pernah singgah di suatu daerah diduga daerah tersebut adalah Kerajaan Tarumanegara, Dinasti Sui (528 M dan 535 M) dan Dinasti Tang (666 M dan 669 M) telah menjalin hubungan dengan Kerajaan Tarumanegara.
Bukti lain yang sangat penting dan otentik dengan ditemukan 7 prasasti dari batu dari masa Kerajaan Tarumanegara, 5 ditemukan di wilayah Bogor yaitu Ciaruteun, Kebon Kopi I, Pasir Koleangkak, Muara Cianten, Pasir Muara; serta satu prasasti (Tugu) ditemukan Jakarta Utara dan satu prasasti (Cidanghiang/lebak) di Pandeglang. Bogor ternyata memiliki prasasti relatif lebih banyak sehingga Bogor kemungkinan pusat dari kerajaan Tarumanegara, dengan rajanya Purnawarman.
Jika melihat persebaran prasasti, dapat diperkirakan bahwa pengaruh kekuasaan Kerajaan Tarumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman, setidak-tidaknya mencakup sebagian Jawa Barat mulai dari Kabupaten Pandeglang, Tanggerang di bagian barat, Kabupaten Bogor di bagian selatan dan daerah Jakarta di bagian utara, daerah Bekasi dan Karawang di bagian timur. Pusat kerajaan atau istana Tarumanegara hingga kini masih menjadi bahan perdebatan para ahli, namun tetap dapat ditafsirkan bahwa permukiman di Bogor telah ada sejak abad ke-5 M.
Selanjutnya terdapat bukti keberadaan Kerajaan Pajajaran pada abad ke 10-15 M dengan ditemukan prasasti Batu Tulis (1533 M) dan Prasasti Kebon Kopi II (932 M), dan sumber lainnya dari naskah-naskah kuna. Demikianlah dapat diketahui pula bahwa Bogor pada waktu itu menjadi pusat Kerajaan Pajajaran (Sunda) dengan rajanya ialah Sri Baduga Maharaja.
Percaturan politik di Jawa pada bagian pertama abad ke-16 M ditandai oleh tiga kekuatan yaitu Banten, Mataram dan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Maka terjadi perebutan lingkungan pengaruh dengan mengandalkan potensi yang dimiliki Mataram, Banten dan VOC. Banten mempunyai peranan penting dalam perdagangan ladanya; Mataram memegang kunci dalam sistem pertukaran karena hasil berasnya; sedangkan VOC tetap bertujuan merebut monopoli dari seluruh perdagangannya. Sistem perdagangan (serta jaringan-jaringannya) dalam kaitannya dengan proses politik dan pengaruh timbal baliknya sudah barang tentu Cirebon dan Priangan menjadi faktor yang turut mempengaruhi perkembangan itu.
Wilayah Priangan di Jawa Barat, karena potensi alamnya, menjadi ajang perebutan di antara tiga kekuatan, yaitu Banten, Mataram, dan VOC. Pihak Banten tidak berhasil menanamkan pengaruhnya ke pedalaman Priangan; sedangkan Mataram meskipun sempat melakukan penetrasi politiknya ke wilayah itu pada paruh kedua tahun 1620-an tidak sepenuhnya mengendalikan pemerintahan di Priangan; akhirnya VOC menaruh perhatian besar terhadap Priangan karena ada potensi untuk dikembangkan sebagai daerah pedalaman Batavia. Sumber daya alamiahnya yang sangat kaya cocok untuk dikembangkannya sistem perkebunan.
Pada abad ke-17-18 M wilayah Priangan menjadi bagian dari VOC, dan tahun 1799 VOC mengalami kebangkrutan dan akhirnya dibubarkan. Selanjutnya Indonesia dibawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di Batavia. Dengan keindahan alam dan kelengkapan hayati dan botani, maka daerah Bogor (Kota Bogor) dikembangkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai pusat studi hayati dan botani.
Memperhatikan sejarah yang dialami oleh Kota Bogor, maka potensi tinggalan budaya yang bersifat tangible, peninggalan sejarah dan purbakala dari masa kolonial sangat dominan, di samping dari masa Hindu/Buddha.



Tidak ada komentar: