Klenteng Liem Thay Soekong (Kong Siang Tee Kong) terletak di Jalan K.H. Fudolih, Kampung Klenteng, Desa Karang Asih, Kecamatan Cikarang Utara. Berada pada koordinat 06º 15’ 294’’ LS dan 107 º 08’ 557’’ BT, dengan ketinggian 95 fit dari permukaan tanah
Klenteng dapat ditempuh dengan kendaraan umum ke arah Cikarang Utara hingga pasar Karang Asih. Dengan batas-batas, utara ke Jalan K.H. Fudolih, dibelakang dan samping berbatasan dengan perumahan penduduk. Klenteng memiliki luas tanah 60 x 50 m.
Klenteng Liem Thay Soekong tampak mukaLingkungan klenteng merupakan perkampungan penduduk keturunan Cina terlihat pada bangunan-bangunan yang terletak di tepi Jl. Raya Pasar Karang Asih masih tampak beberapa bangunan dengan arsitektur Cina yang sejak dulu sebagai pertokoan. Sedangkan Klenteng Liem Thay Soekong (Kong Siang Tee Kong) masuk melintasi gang sejauh ± 20 meter, tetapi terlihat dari jalan. Bangunan ini sudah mengalami banyak perubahan, terakhir direnovasi 2 tahun lalu (2005). Bagian bangunan yang masih terlihat asli adalah pada bagian pintu utama masuk ruang utama klenteng, berupa kuzen pintu dengan 2 daun pintu kanan dan kiri, 2 tambur, dan peti. Tambur, tidak memiliki hiasan atau ukiran, masih digunakan sebagai alat tetabuh pada acara Cap Go Meh (Tahun Baru Cina). Sedangkan peti untuk penyimpanan perlengkapan peribadatan. Dewa Utama yang dipasang pada altar utama adalah Dewa Kong Siang Tee Kong (Dewa Keberuntungan), didampingi oleh Dewa Pendamping Hok Tek Tjeng Sin dan Kwan Tee Kaen.
Klenteng ini sebagai salah satu bukti bahwa Kabupaten Bekasi sejak abad ke-16 M telah mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina dan secara budaya telah terjadi akulturasi secara damai.
Tambur koleksi Klenteng Liem Thay Soekongaktivitas budaya Cina dari komunitas masyarakat keturunan Cina yang ada di Desa Karang Asih, Kecamatan Cikarang Utara dapat berperan dalam menyajikan keanekaragaman budaya dengan tetap menggelarkan perayaan Tahun Baru Cina (Cap Go Meh), seperti menampilkan karnaval barongsai dan berbagai kesenian tradisional lainnya. Atau Pemerintah Kabupaten Bekasi mengagendakan festival budaya tetap setiap tahun dengan menampilkan keanekaragaman budaya yang ada di Kabupaten Bekasi salah satunya kesenian dari komunitas keturunan Tiongkok.
Kabupaten Subang, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yang wilayahnya berada di pantai utara tepatnya pada koordinat 107” 31’ - 107” 54’ bujur timur dan 6” 1’ - 6” 49’ lintang selatan. Batas wilayah kabupaten ini di utara adalah Laut Jawa, di timur Kabupaten Indramayu, di tenggara Kabupaten Sumedang, di selatan Kabupaten Bandung, serta Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang di barat.
Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 2.051,76 km² terbagi dalam dua zona geografi. Bagian selatan merupakan dataran tinggi/pegunungan, sedangkan bagian Utara merupakan dataran rendah yang mengarah langsung ke Laut Jawa.
Secara administratif wilayah Kabupaten Subang terdiri atas 22 kecamatan yaitu Kecamatan Binong, Blanakan, Ciasem, Cibogo, Cijambe, Cikaum, Cipeundeuy, Cipunagara, Cisalak, Compreng, Jalan Cagak, Kalijati, Legon Kulon, Pabuaran, Pagaden, Pamanukan, Patok Beusi, Purwadadi, Pusakanagara, Sagalaherang, Subang, dan Tanjung Siang. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Subang.
Penduduk Subang pada tahun 2003 berjumlah 1.407.000 dengan kepadatan 686 jiwa/km². Masyarakat Subang pada umumnya adalah Suku Sunda, yang menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari, namun demikian sebagian kawasan di pesisir penduduknya menggunakan Bahasa Jawa Dialek Cirebon (Dermayon).
Perekonomian Kabupaten Subang ditunjang oleh sektor pertanian. Sebagian besar penduduk berpenghasilan utama sebagai petani dan buruh perkebunan. Kawasan Subang selatan banyak terdapat area perkebunan, seperti karet pada bagian barat laut dan teh. Selain itu Subang terkenal sebagai salah satu daerah penghasil buah nenas yang umumnya kita kenal dengan nama Nenas Madu. Nenas Madu dapat ditemui di sepanjang Jalancagak yang merupakan persimpangan antara Wanayasa - Bandung - Sumedang dan Kota Subang sendiri. Dodol nenas, keripik singkong dan selai yang merupakan hasil home industry yang dapat dijadikan makanan oleh-oleh. Di Desa Cipunagara, melalui program binaan di bawah arahan Yayasan Kandaga, para petani sedang membudidayakan jamur tiram dan ikan nilam.
Kawasan Subang hingga seperti sekarang ini sudah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang. Bukti kehidupan zaman pleistosen ditemukan juga di Subang. Beberapa fosil vertebrata dan moluska pernah ditemukan di beberapa tempat misalnya di Curug Cina Ranggawulung, Ciereng, dan aliran Sungai Cisaar, Cibogo. Selanjutnya bukti kehadiran manusia purba di Subang juga pernah ditemukan meskipun “hanya” berupa perkakas milik manusia purba, bukan bukti fisik manusia purba berupa fosil. Kapak perimbas yang ditemukan di Pringkasap, Pabuaran mengantarkan satu hipotesis bahwa manusia purba yang sudah sedikit maju pernah hadir di Subang. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang masih berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka hidup dari mengumpulkan makanan. Kehadiran mereka disusul kelompok yang lebih maju, yaitu kelompok masyarakat yang sudah mengenal bercocok tanam. Di wilayah Kabupaten Subang telah ditemukan beliung persegi antara lain di Desa Balingbing, Kecamatan Pagaden dan di Kecamatan Cisalak. Temuan benda-benda prasejarah bercorak tinggalan masa neolitik ini menandakan bahwa saat itu di wilayah Kabupaten Subang sudah ada kelompok masyarakat yang hidup dari sektor pertanian meskipun dengan pola sangat sederhana. Perkembangan peradaban tampaknya terus berlangsung. Masyarakat yang tadinya hanya mengenal perkakas batu meningkat mahir mengolah logam. Beberapa perkakas logam perunggu antara lain ditemukan di Desa Nangerang, Kecamatan Binong. Perkakas perunggu ini mempunyai ciri budaya Dong Son.
Memasuki zaman klasik, wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Pada masa tersebut wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tomé Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda. Jauh sebelum masa Kerajaan Sunda, sangat mungkin wilayah ini berada di bawah kekuasaan Tarumanagara.
Pasca runtuhnya kerajaan Sunda Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di Pulau Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Masa yang bersamaan dengan datangnya pengaruh kebudayaan Islam ini, wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang tokoh ulama, Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun 1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok Subang. Pada aspek politik tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia.
Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang ini Sukandi, seorang guru Landschbouw, R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang.
Tidak banyak catatan sejarah pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang. Namun demikian, Setelah Kongres Sarekat Islam di Bandung tahun 1916 di Subang berdiri cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi (Ciasem). Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo pada tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengemukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.
Pendaratan tentara angkatan laut Jepang di pantai Eretan Timur, Indramayu tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta berimbas pada didirikannya berbagai badan perjuangan di Subang, antara lain Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain, banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi anggota TNI. Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang di Subang menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan front barat (Gunung Putri dan Bekasi). Tahun 1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di Subang. Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen pertama ialah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat. Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian, dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya. Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan: 1. Wakil Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta, 2. Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan bupati pertamanya Danta Gandawikarma, 3. Wilayah Karawang Barat menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan momentum untuk kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.
Berbagai peristiwa tersebut, bukti peninggalannya ada yang dapat disaksikan hingga sekarang. Bukti-bukti tersebut antara lain berupa benda-benda kuna, makam-makam yang dikeramatkan, dan beberapa bangunan lama.
11.19.2008
Klenteng Liem Thay Soekong Kota Bogor
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar