Kampung Dukuh terletak di Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet. Berada pada ketinggian ± 390 m di atas permukaan laut. Dari Ibukota Kabupaten Garut berjarak 100 km, 80 km pertama dapat ditempuh dengan kendaraan umum sampai ke Cikelet, dari sini kemudian berganti kendaraan umum menuju Cijambe.
Dari pertigaan Cijambe menuju Kampung Dukuh dengan jarak 9 km dapat ditempuh dengan ojeg atau jalan kaki. Kondisi jalan dari Cijambe menuju lokasi sangat buruk sehingga hanya mobil khusus yang dapat melaluinya. Kendaraan berhenti di Pamenekan, yaitu persimpangan menuju Kampung Dukuh. Dari Pamenekan ditempuh dengan jalan kaki menuju lokasi, melalui jalan setapak dipenuhi semak belukar dan pohon jati dengan jarak 500 m.
Kampung Dukuh luasnya ± 5 hektar dengan suhu udara ± 26 º C tidak begitu panas (sedang) meskipun terletak hampir di pesisir Selatan, karena di sebelah utara kampung terdapat hutan lebat. Letak kampung terletak di tanah yang miring, dilereng Gunung Dukuh dan terpencil dari kampung lain, dalam satu desa namun tidak membuatnya sulit melakukan komunikasi karena sarana jalan cukup tersedia. Batas-batas administrasi sebelah Utara: Kampung Palasari, Desa Karangsari; sebelah Selatan: Kampung Cibalagung, Desa Cijambe; sebelah Timur: Kampung Nangela, Desa Karangsari; sebelah Barat: Kampung Ciawi, Desa Cijambe.
Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II yang saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena orang tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah pesantren yang mempunyai murid-murid cukup banyak.
Syekh Abdul Jalil bersedia menjadi hakim/penghulu/kepala agama dengan syarat:
entong ngarempak syara yang artinya jangan melanggar syara (hukum/ajaran Islam) seperti membunuh, merampok, mencuri, perzinahan dan sebagainya, dan apabila syarat tersebut tidak diindahkan, maka jabatan sebagai penghulu akan segera diletakkan. Dua belas tahun sejak pengangkatan menjadi penghulu dan selama itu aturan-aturan agama tidak ada yang melanggar. Akan tetapi ketika Syekh Abdul Jalil berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, Sumedang kedatangan utusan Banten yang meminta agar Sumedang tidak tunduk dan memberi upeti ke Mataram, tetapi tunduk ke Banten dan bersama-sama memerangi Mataram. Rangga Gempol II marah dan utusan Banten Jagasatru malah dibunuh atas perintahnya, mayat itu dibuang ke hutan agar tidak diketahui oleh Banten dan Syekh Abdul Jalil.
Walau bagaimanapun kuatnya menutupi rahasia, akhirnya peristiwa pembunuhan itu diketahui Syekh Abdul Jalil sekembali dari Mekah, dari informasi temannya Ki Suta. Kemudian Ia langsung meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Walaupun Rangga Gempol II mohon maaf dan berjanji tidak akan pernah melakukan pelanggaran syara lagi, Syekh Abdul Jalil tetap dengan pendiriannya untuk meninggalkan jabatan itu. Sebelum meninggalkan Sumedang, ia sempat berkata” sebentar lagi Sumedang akan diserang oleh Banten”. Ternyata perkataanya terbukti. Pada Hari Jum’at bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri, Sumedang diserang oleh Banten yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Sumedang mengalami kehancuran.
Syekh Abdul Jalil kemudian pergi ngalanglang buana (mengelilingi dunia atau berpindah-pindah dari satu temapt ke tempat lainnya) mencari tempat bermukim yang dirasa cocok untuk dijadikan tempat menyebarkan ilmu dan agamanya. Di setiap tempat yang disinggahinya Ia selalu bertafakur, memohon petnjuk Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok dan tenang dalam beribadah dan menjalankan atau mengajarkan agamanya. Pada tanggal 12 Maulud Bulan Alif (tidak ada keterangan yang pasti mengenai tahun yang tepat) ketika selesai tafakur di Tonjong, Ia mendapat petunjuk di langit berupa sinar sagede galuguran kawung atau sebesar pohon aren. Sinar tersebut bergerak menuju suatu arah tertentu, yang kemudian diikuti oleh Syek Abdul Jalil, dan berhenti di suatu daerah di antara Sungai Cimangke dan Cipasarangan. Daerah tersebut ternyata telah dihuni oleh suami istri yang bernama Aki (kakek) dan Nini (nenek) Candradiwangsa. Syeckh Abdul Jalil bermukim di tempat tersebut dan dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakan, Syekh Abdul Jalil mulai menempati Kampung Dukuh pada tahun 1685. Menurut buku Babad Pasundan (diterbitkan 1960), penyerangan Cilikwidara (Banten) ke Sumedang terjadi pada tahun 1678. Sedangkan pengembaraan Syekh Abdul Jalil yang tercatat dalam buku yang disimpan kuncen memakan waktu ± 7 tahun.
Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh, teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan (2006) Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim. Menurut mantan Lurah Cijambe, yaitu Uung Supriyadin, nama Dukuh dikenal kira-kira pada tahun 1901 yaitu pada waktu berdirinya Desa Cijambe. Sebelum tahun 1901 tidak dapat keterangan apa nama kampung tersebut.
Sejak berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami dua kali dibumihanguskan. Peristiwa pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi Belanda yang ke-2, perkampungan dibakar sendiri oleh penduduk karena takut jatuh ke tangan penjajah. Kedua, pada masa terjadinya pembrontakan DI/TII dengan dalangnya Kartosuwiryo. Pembakaran dilakukan oleh pemerintah karena Kampung Dukuh yang tanahnya subur dikhawatirkan akan dijadikan basisi oleh pasukan DI/TII. Kemudian baru-baru ini terjadi peristiwa kebakaran pada tahun 2006 yang menyebabkan hampir semua bangunan rumah habis terbakar. Berkat swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah dibangun kembali Kampung Dukuh dengan tradisi yang tetap melekat kuat dalam proses pembangunan perkampungan tersebut.
Kampung Dukuh merupakan kesatuan pemukiman yang mengelompk, terdiri atas beberapa puluh rumah yang berjajar pada kemiringan tanah yang bertingkat. Pada tiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari arah barat ke timur. Letak antar rumah hampir berdempetan, sehingga jalan kampung terletak di sela-sela rumah penduduk berupa jalan setapak. Kampung Dukuh terdiri atas dua daerah pemukiman yaitu Dukuh Luar (Dukuh Landeuh = bawah) dan Dukuh Dalam (Dukuh Tonggoh = atas). Selain Dukuh Luar dan Dukuh Dalam, terdapat wilayah lain yang bernama Tanah Karomah (tanah keramat). Di dalam wilayah Tanah Karomah terdapat Makam Karomah (makam keramat). Di antara ketiga wilayah ini dibatasi oleh pagar tanaman.
Dukuh Dalam terdiri atas 42 rumah, dengan bentuk, arah membujur dan bahan bangunan yang sama. Jumlah ini tetap, karena tidak ada lagi tanah kosong yang bisa dijadikan tempat berdirinya sebuah rumah. Terdapat peraturan-peraturan yang mengikat penduduknya berupa peraturan tidak tertulis atau bersifat tabu, misalnya tidak boleh menjulurkan kaki ke arah makam keramat yang ada di sebelah utara kampung, tidak boleh makan sambil berdiri, tidak boleh menggunakan barang-barang elektronik dan tidak boleh membuat rumah lebih bagus dari pada tetangganya.
Dukuh luar merupakan bagian dari kampug yang berada di luar batas taneuh karomah. Segala peraturan tidak berlaku dengan ketat. Bahkan dalam perkembangan sekarang sudah banyak dijumpai bangunan-bangunan yang memakai bahan-bahan yang di Dukuh Dalam tabu untuk dipakai, misalnya genteng, kaca, papan. Walaupun demikian arah rumah-rumah masih tetap dari timur ke barat dan pintu rumah tidak menghadap ke makam keramat.
Untuk sarana peribadatan terdapat dua mesjid yaitu satu untuk laki-laki dan satu khusus untuk wanita. Untuk mandi dan mencuci, masyarakat dapat menggunakan jamban umum yang tersebar di sekeliling kampug. Demikian pula sawah, ladang, kandang ternak terletak terletak cukup jauh dari rumah-rumah penduduk.
Makam Keramat merupakan komplek makam yang terdiri dari makam Eyang Wali (Syekh Abdul Jalil), makam Hasan Husein, makam-makam kuncen, dan warga Kampung Dukuh (pemakaman umum). Ada beberapa larangan tidak boleh berziarah pada hari Sabtu, pegawai negeri dilarang ziarah, tidak boleh memakai perhiasan, harus berwudhu/bersuci dan bagi wanita yang sedang datang bulan dilarang ikut berziarah, ziarah dipimpin oleh kuncen.
Masyarakatnya homogen dan hidup terpencil dari keramaian kota dan perkampungan lain. Menurut tradisi yang hidup sampai sekarang, masyarakat adat Kampung Dukuh sangat mematuhi kasauran karuhun (nasehat leluhur). Nasehat ini menganjurkan hidup sederhana, sopan santun, tidak berlebihan dan tidak mengejar kesenangan duniawi, serta tetap memegang prinsip kebersamaan. Selain itu, ada adat tabu (larangan) yang tetap dipegang sehingga pola kampung dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari tetap terjaga. Kemudian peranan kuncen sebagai pemimpin non formal dianggap sebagai pelindung adat istiadat yang kewibawaannya sangat berpengaruh.
Bangunan rumah di Kampung Dukuh rata-rata terorganisir atas empat bagian, yaitu: ruang muka (tepas) yang menyatu dengan ruang tengah (tengah imah); kamar tidur (enggon); dapur (pawon); dan gudang (goah). Secara umum bagian bangunan terdiri dari: Tatapakan, yaitu bagian paling bawah dari rumah terbuat dari batu alam utuh. Berfungsi untuk melindungi tiang dari rayap atau air tanah yang menyebabkan tiang cepat lapuk; Tihang atau tiang terbuat dari kayu atau bambu yang berfungsi sebagai kerangka rumah; Lantai rumah berupa palupuh yang terbuat dari lempengan bambu; Bilik atau dinding rumah terbuat dari bambu apus atau bambu tali dengan menganyam belahan-belahan bamu yang telah ditipiskan sampai memperoleh jalinan diagonal; Panto atau pintu terbuat dari lempengan-lempengan kayu atau papan dari jenis kayu kihiang, sedangkan untuk kusen dan jendela digunakan kayu jati, bungbulang, cayur, campaka, atau albasiah; Golodog merupakan tangga satu tingkat yang menghubungkan antara pekarangan dengan bagian dalam rumah. Golodog ini terbuat dari bambu atau kayu yang dipasang di bagian bawah pintu depan, sedangkan pintu belakang biasanya tidak menggunakan golodog; dan Suhunan atau atap adalah bagian teratas dari rumah terbuat dari ijuk, alang-alang, atau tepus. Sebagian besar menggunakan alang-alang dilapisi ijuk.
Adanya kendaraan umum menuju Kampung Dukuh kiranya dapat membuka akses ke kampung ini bagi wisatawan lokal maupun Nusantara. Aset tradisi yang memilki nilai kearifan yang patut dibanggakan, dilestarikan bahkan dapat dimanfaatkan sebagai tempat kajian arsitektur tradisional dan menggali adat istiadat untuk menumbuhkembangkan jatidiri bangsa yang selanjutnya akan memperkokoh ketahanan budaya bangsa.
11.25.2008
Kampung Dukuh
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar