Garut merupakan salah satu kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Barat, tidak saja potensial akan objek wisata alam seperti gunung, rimba, laut, pantai dan sungai (popular dengan akronim “Gurilaps”), situ/danau, curug, serta ditunjang pula oleh udara yang sejuk. Kenyataan lain membuktikan Garut pun kaya akan ragam budaya mulai seni tradisi, upacara tradisional, kampung adat (komunitas adat), peninggalan sejarah dan purbakala.
Kabupaten Garut terletak ± 63 km di sebelah tenggara Kota Bandung, dengan ketinggian ± 717 m dari permukaan laut, dapat dicapai dengan kendaraan bermotor dalam ± 1 jam. Wilayah Garut rata-rata berhawa sejuk, dengan luas 310.599 km², dengan batas-batas; sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang; sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya.
Di daerah Kabupaten Garut merupakan kawasan dengan peninggalan tradisi budaya megalitik yang cukup luas. Sumber tulisan tentang kepurbakalan di daerah ini pernah di catat oleh N.J. Krom di dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Diens in Nederlandsch Indie (ROD) tahun 1914, yang antara lain melaporkan tentang adanya beliung batu yang ditemukan di daerah Cilimus, Distrik Bayongbong, serta sisa-sisa lingga dan arca siwa di daerah Cangkuang Distrik Leles dan masih banyak lagi tinggalan-tinggalan arkeologis lainnya. Kemudian berturut-turut pada tahun 1966, 1967, 1968 Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional mengadakan penelitian terhadap peningalan-peningalan prasejarah di sekitar Danau Cangkuang, Leles. Penelitian ini kemudian dilanjutkan pada tahun 1974 dengan sasaran Pasir Guling, Pasir Lio, Pasir Sempur, Sadang Gentong, Pasir Palalahgon, Pasir Kondeh, Pasir Tanggal, Pasir Canggal, Pasir Muncang, Pasir Laku dan Pasir Tarisi. Pada penelitian tersebut berhasil dideskripsikan adanya bangunan tradisi megalitik dari masa prasejarah, seperti punden berundak, menhir, lumpang batu, alat batu, obsidian, fragmen gerabah, selain itu juga ditemukan juga budaya Hindu-Bhuddha yaitu Candi Cangkuang.
Peninggalan kebudayaan Islam/kerajaan di wilayah Garut, berbentuk makam/petilasan/kabuyutan sebagai tokoh penyebar agama Islam seperti makam Sunan Suci Godog, Makam Syekh Abdul Jalil, Makam Arif Muhammad yang banyak dijadikan sebagai objek wisata ziarah. Selain itu naskah/tulisan dalam tulisan Arab, kampung adat dengan masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi hingga kini yaitu kampung Dukuh, Kampung Pulo, Kabuyutan Ciburuy.
Selanjutnya bukti Sejarah Kabupaten Garut pada masa Hindia-Belanda, berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendles dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, oleh Raffles (Inggris), mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci, namun keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan suatu kota kabupaten sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cumurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (sekarang kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak. Pada waktu ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia "kakarut" atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau "ngabaladah" tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya : "Mengapa berdarah?" Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi "gagarut".
Sejak itu para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut". (Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTP I, SLTP II, dan SLTP IV Garut). Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan. Kemudian hari ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Garut berdasarkan peristiwa ngabaladah sehingga lahirlah nama Garut. Bersumber pada tradisi tata perhitungan waktu masyarakat, dinyakini “Ngabaladah” terjadi pada 14 Maulud 1228 Hijriyah, yang bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1913 (Roofer), kemudian pada PERDA Kab. DT II Garut No. 11 Tahun 1981 tentang Penetapan Hari Jadi Garut yang diundangkan dalam Lembaran Daerah pada tanggal 30 Januari 1982, dinyatakan bahwa Hari Jadi Garut pada Tanggal 17 Maret 1813.
Garut dipersiapkan sebagai ibukota kabupaten Limbangan, pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat "babancong" tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, ibu kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).
Sampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga periode, yaitu :
a) Periode Pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar alun-alun dan memanjang ke arah timur sepanjang jalan Societeit Straat.
b) Periode Kedua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar.
c) Periode Ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.
Pada awal abad ke-20, Kota Garut mengacu pada pola masyarakat yang heterogen sebagai akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan pertumbuhan Kota Garut erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan dan objek wisata di daerah Garut.
Orang Belanda yang berjasa dalam pembangunan perkebunan dan pertanian di daerah Garut adalah K.F Holle. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Hollel (Jl.Mandalagiri) dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut.
Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan hotel-hotel pada Tahun 1917. Hotel-hotel tersebut merupakan tempat menginap dan hiburan bagi para pegawai perkebunan atau wisatawan yang datang dari luar negeri. Hotel-hotel di Kota Garut, yaitu Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotell Belvedere, dan Hotel Van Hengel.
Di luar Kota Garut terdapat Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan di Cisurupan, Hotel Melayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel Kamojang di Samarang dan Hotel Cilauteureun di Pameungpeuk. Berita tentang Indahnya Kota Garut tersebar ke seluruh dunia, yang menjadikan Kota Garut sebagai tempat pariwisata.
11.25.2008
Kabupaten garut
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar