Saya sedang online, silahkan masuk

11.25.2008

Candi Cangkuang

Candi Cangkuang termasuk ke dalam wilayah Kampung Ciakar, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles. Secara geografis beradapada koordinat 7º 06’ 067” LS 107º 55’168”. Untuk mencapai Candi Cangkuang bisa naik bus atau elf jurusan Bandung-Garut, berhenti di alun-laun Leles, kemudian dilanjutkan dengan naik delman atau ojeg, atau berjalan kaki sejauh 3 Km.

Candi Cangkuang terletak di puncak bukit kecil di Pulau Panjang yang dikelilingi danau “Situ” Cangkuang, namun karena adanya pendangkalan pada sebagian danau maka salah satu sisinya menyatu dengan tanah di sekitar. Selain candi, ditemukan pula makam Arif Muhammad yang letaknya berdampingan dengan candi dan masih di areal Pulo Panjang ini terdapat pemukiman masyarakat adat Pulo.
Nama Candi Cangkuang diambil dari nama Desa Cangkuang tempat dimana candi tersebut ditemukan, namun ada yang berpendapat bahwa Cangkuang adalah nama tumbuhan/pohon Cangkuang yang banyak tumbuh di kawasan tersebut. Candi Cangkuang ditemukan kembali pada tanggal 9 Desember 1966 berkat usaha penelusuran oleh ahli purbakala Drs. Uka Tjandrasasmita terhadap buku Notulen Bataviach Genoot Schap yang ditulis oleh orang Belanda bernama Vorderman tahun 1893. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuna Arif Muhammad dan sebuah arca siwa. Penelitian tahun 1967/1968 dengan cara penggalian di sekitar daerah tersebut menemukan pondasi kaki candi dan serakan batu bahkan oleh penduduk digunakan sebagai nisan makam.
Pada tahun 1974 -1976 dilakukan pemugaran (rekonstruksi) bangunan candi yang dilaksanakan oleh proyek Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional Depdikbud dan hasilnya seperti sekarang ini dan makam Arif Muhammad yang terletak di sebelah candi. Pemugaran dilakukan berdasarkan sisa pondasi dan sejumlah temuan lepas. Temuan batu-batu asli ± 20 % memang sangat terbatas, tetapi cukup mewakili bagian-bagian candi. Candi selesai dipugar dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 8 Desember 1976.
Candi Cangkuang berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang 4,5 m, lebar 4,5 m dan tinggi 8,5 meter dengan sebuah pintu masuk ke bilik utama di sisi timur. Candi terbuat dari batu andesit polos. Secara keseluruhan candi ini terdiri atas kaki, badan, dan atap. Kaki candi memiliki tangga yang diapit oleh dua pipi tangga menuju badan candi. Pada badan, terdapat bilik candi dengan arca Siwa dalam posisi duduk di punggung lembu (Nandi) dengan kaki kiri dilipat ke muka perut, kedua tangan arca patah, dibuat dari batu andesit, dengan tinggi 40 cm. Temuan arca Siwa yang merupakan dewa dalam Agama Hindu, menunjukan bahwa pembangunan candi untuk tempat pemujaan masyarakat yang beragama Hindu. Diduga oleh beberapa ahli bahwa candi dibangun pada abad ke-8 M, yang merupakan mata rantai yang hilang dari penemuan Candi Jiwa di Karawang (Abad ke-4), Candi di Wonosobo dan candi di Ambarawa pada abad ke-7 dan ke-8 M. Atap candi terdiri dari atas 4 tingkat yang bentuknya mengecil ke atas dengan kemuncak tunggal di atasnya.
Arief Muhammad merupakan tokoh penyebar Agama Islam di daerah tersebut (Ani Rostiyati, 1996:70-73). Arif Muhammad semula senapati Kesultanan Mataram Islam yang terletak di Yogyakarta, yang ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menyerang dan mengusir VOC/Kompeni di Batavia di bawah pimpinan J.P. Coen, pada abad ke 17 M. Usaha penyerangan tersebut gagal, pasukan Mataram Islam mengalami kekalahan. Dengan kekalahan tersebut Arif Muhammad tidak pulang ke daerah asalnya di Yogyakarta, melainkan melarikan diri ke daerah pedalaman priangan, tepatnya di daerah Leles, Garut. Selanjutnya Arif Muhammad menetap dan menyebarkan Agama Islam kepada masyarakat setempat yang kemungkinan besar menganut agama Hindu. Hal tersebut biasa dilihat dari adanya bangunan candi Hindu. Usaha mengislamkan penduduk setempat berhasil dan hingga sekarang seluruh penduduk setempat secara nominal beragama Islam.
Arif Muhammad membentuk keluarga dengan menikahi wanita setempat serta memperoleh enam anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Setelah meninggal, Arif Muhammad dimakamkan di dekat candi Cangkuang.
Makam Arif Muhammad merupakan rekontruksi dari bentuk aslinya, ketika pemugaran Candi Cangkuang tahun 1976. Makam berdenah empat persegi panjang berukuran 260 x 126 x 80 cm, dengan nisan ganda berbentuk empat persegi panjang berukuran 46 x 25 x 6 cm dipasang saling berhadapan jaraknya 1 m. Makam ini banyak dikunjungi oleh masyarakat, namun ada larangan adat yang harus dipatuhi yaitu tidak boleh berziarah ke makam pada hari Rabu. Hari Rabu dipakai hanya untuk kegiatan mengaji, ceramah dan mempelajari ilmu agama Islam.
Ditemukan pula kitab-kitab tulisan tangan yang ditulis di kertas yang terbuat dari kulit kayu pohon saeh, yaitu kitab tauhid, kitab jurumiah, kitab ilmu sufi, kitab fikih, ilmu bahasa, kitab doa, kitab khutbah Jum’at, dan Alm Qur’an. Kesemua kitab merupakan peninggalan Arif Muhammad yang sekarang disimpan di Museum Situs Cangkuang, tidak jauh dari makam Arif Muhammad.
Sedang Kampung adat Pulo, masyarakatnya merupakan keturunan Arif Muhammad. Kampung adat ini terdiri dari 6 rumah yang ditata masing-masing 3 rumah berjajar berhadapan dengan tiga rumah lainnya dan di bagian tengah terdapat halaman, serta mushola di sisi baratnya. Keenam rumah ini melambangkan enam anak perempuan dan satu anak laki-laki Arif Muhammad. Rumah-rumah tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena ada peraturan adat yang melarang agar rumah tidak boleh ditambah lagi. Bila ada yang menikah maka keluarga baru tersebut harus keluar dari Kampung Pulo.
Rumah adat bentuknya rumah panggung, dinding terbuat dari kayu dan bambu serta ijuk untuk atapnya. Seperti halnya kampung adat lainnya, masyarakat kampung Pulo mempunyai adat istiadat yang mengatur tingkah laku dalam bertindak di masyarakat misalnya: Tidak boleh memelihara hewan berkaki empat, kecuali kucing karena kucing adalah hewan kesayangan Nabi Muhammad SAW, tidak boleh menabuh gong besar, tidak boleh membangun rumah beratap prisma. Hal ini berhubungan dengan celaka dan meninggalnya anak lelaki Arif Muhammad pada saat diarak menggunakan tandu berbentuk prisma ketika hendak disunat.
Candi Cangkuang telah menjadi daerah tujuan wisata masyarakat dari Jawa Barat maupun luar Jawa Barat. Hal ini karena pengunjung dapat melihat warisan budaya berupa candi, makam kuno dan rumah adat dengan tradisinya, lingkungan alamnya juga sangat menarik karena adanya danau alam “situ Cangkuang“, dan pohon-pohon besar yang rindang dan teduh. Tersedia berbagai fasilitas untuk kenyaman bagi wisatawan misalnya bangunan/kantor sebagai ruang informasi, rakit bambu untuk menyebrangi situ, yang kadangkala dihibur oleh pengamen dengan lagu berbahasa daerah (Sunda), juga tersedia delman, kios-kios cenderamata, sarana ibadah. Selain itu ada Pesta Air Cangkuang yang merupakan kegiatan rutin dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun kemerdrkaan RI. Adapun kegiatan yang ditampilkan adalah lomba rakit tradisional, lomba tangkap bebek, sebutan dan lain-lain serta diiringi dengan pementasan kesenian tradisional calung atau pencak silak, biasanya dilaksanakan pada bulan Agustus.


Tidak ada komentar: